Banyak Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terjun ke dunia politik dan pemerintahan setelah pensiun saat ini. Hal ini kembali menyoroti pentingnya menjaga netralitas TNI dalam dinamika politik di Indonesia. Namun, hal ini menimbulkan kritik karena dinilai mencampuradukkan peran militer dan sipil yang berpotensi menghambat demokrasi.
Salah satu poin yang paling disorot adalah wacana perluasan hak prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang dikhawatirkan dapat membuka kembali praktik dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru. Oleh karena itu, simak artikel ini untuk mengetahui sejarah dwifungsi ABRI dan latar belakang penghapusannya.
Bagaimana Sejarah Munculnya Dwifungsi ABRI?
Konsep dwifungsi ABRI pertama kali diperkenalkan oleh AH Nasution pada 1958 sebagai gagasan bahwa militer berhak berperan dalam pemerintahan demi menjaga stabilitas negara. Ide ini muncul karena ketidakstabilan politik akibat kegagalan sipil dalam merumuskan kebijakan, serta meningkatnya ketegangan antara tentara dan politisi.
Dekret Presiden Soekarno pada 1959 memperkuat konsep ini dengan memberikan dasar hukum bagi ABRI sebagai kekuatan sosial politik. Pada 1966, TAP MPRS No. XXIV/MPRS/1966 secara resmi menetapkan peran ganda militer, memungkinkan ABRI berkiprah di bidang sipil tanpa harus meninggalkan status militernya.
Di era Orde Baru, dwifungsi ABRI memberi kesempatan bagi tentara aktif menduduki berbagai posisi strategis seperti anggota DPR, kepala daerah, menteri, hingga pimpinan BUMN. Ketidakmampuan sistem politik saat itu membuat peran militer semakin menguat, terutama karena keberhasilannya dalam menumpas berbagai pemberontakan di Indonesia.
Baca Juga: Sejarah Libur Sebulan Anak Sekolah di Bulan Ramadhan
Apa Latar Belakang Penghapusan Dwifungsi ABRI?

Dominasi militer dalam pemerintahan akibat dwifungsi ABRI bertentangan dengan prinsip demokrasi menuai kritik. Ketidakcakapan tentara dalam jabatan sipil dan berbagai penyelewengan semakin memperkuat tuntutan penghapusan peran ganda militer, terutama setelah Soeharto terpilih kembali pada periode 1978-1983.
Gerakan Reformasi 1998 menjadikan penghapusan dwifungsi ABRI sebagai salah satu tuntutan utama. Pada tahun 2000, TNI secara resmi keluar dari jalur politik dan fokus sebagai kekuatan pertahanan negara.
Saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tentara hanya diperbolehkan mengelola koperasi sebagai bagian dari perannya di luar sektor militer.
Baca Juga: Apa Saja yang Dibutuhkan untuk Jadi Negara Maju?
Apakah Ada Potensi Bangkitnya Dwifungsi Kembali ke Politik Saat Ini?
Kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi TNI kembali muncul setelah hampir 27 tahun. Revisi UU TNI mengusulkan perluasan jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh anggota aktif TNI, dari awalnya 10 menjadi 16, lalu bertambah menjadi 17.
Dalam draf revisi UU TNI, lima lembaga tambahan diusulkan, seperti BNPB, BNPT, dan Kejaksaan Agung. Salah satu dampak dari pengesahan RUU TNI adalah anggota TNI tidak perlu pensiun dini untuk menduduki jabatan di kementerian/lembaga politik, sehingga membuka peluang lebih besar bagi keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil.
Referensi:
https://narasi.tv/read/narasi-daily/sejarah-dwifungsi-abri#google_vignette